MATA KULIAH : LANDASAN TEKNOLOGI
PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI : TEKNOLOGI
PENDIDIKAN
SEMESTER : 1 (SATU)
DOSEN PENGAMPU : PROF.DR. JOHANES
SAPRI, M.Pd
: DR. SUHIRMAN, M.Pd
SOAL :
Definisi Teknologi Pendidikan Mengalami Evolusi sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jelaskan fokus definisi
Teknologi Pendidikan dari Tahun 1963 sampai dengan 2004 (25%)
Januszewsky (2001) mengungkapkan bahwa tahap awal
proses pengembangan konsep Teknologi Pendidikan dilandasi dan didukung oleh
tiga faktor, yaitu; Engeneering, Science, dan the Development of the audio
visual education movement. Jelaskan ketiga faktor tersebut dan keterkaitannya
(20%)
Perkembangan pemahaman dan kajian Teknologi Pendidikan
menghasilkan berbagai teori dan praktek pembelajaran yang banyak memanfaatkan
media sebagai sumber belajar. Hal ini terkesan bahwa Teknologi Pendidikan sama
dengan media pembelajaran. Bagai mana menurut anda ungkapan tersebut dari
konsep evolusi Teknologi Pendidikan (20%)
Teknologi Pendidikan memiliki kawasan yang jelas
sesuai dengan evolusi definisinya. Hal ini menunjukkan eksistensi Teknologi
Pendidikan dalam mengatasi kesulitan belajar peserta didik. Bagai mana
ferspektif anda kedepan mengenai kawasan teknologi pendidikan yang akan datang
(15%)
Menurut Heinich (1970) management of instruction telah
dikembangkan bersamaan dengan prinsip-prinsip sistem dalam mendesain
pembelajaran. Hoban (1965) menyatakan bahwa management of intruction tidak
hanya mengembangkan dan menggunakan bahan ajar dan metode pembelajaran saja,
akan tetapi termasuk juga kepentingan-kepentingan logistik, pendekatan
sosiologis, budaya dan ekonomi. Jelaskan perbedaan pandangan kedua ahli di atas
mengenai management of instruction (20%)
UASLAND. TEK.PEN : File@Mahuri 2010 HALAMAN 1
JAWABAN
1.fokus definisi Teknologi Pendidikan dari Tahun 1963 sampai dengan 2004
Adalah:
Pada definisi awal, fokus
Teknologi Pendidikan hanya sebagai media pembelajaran;
Pada definisi 1960an dan 1970an,
Teknologi Pendidikan dipandang sebagai suatu proses;
Pada definisi 1994, Teknologi
Pendidikan telah dipandang sebagai proses dan juga produk;
Pada definisi terbaru (2004)
landasan etika mulai dijadikan pedoman dalam kajian dan praktik Teknologi
Pendidikan
Definisi AECT 1963
Di tahun 1963, definisi teknologi pendidikan digambarkan bukan hanya
sebagai sebuah media. Definisi ini (Ely, 1963) menghasilkan dengan suatu komisi
pengawas yang dibentuk olep Departemen Pendidikan Audiovisual (sekarang dikenal
sebagai Asosiasi Teknologi dan Komunikasi Pendidikan). Hal ini merupakan suatu
hal yang berangkat dari pandangan “tradisional” terhadap teknologi pendidikan.
Definisi kini lebih memusat pada desain pembelajaran dan penggunaan media
sebagai pengendalian proses belajar (p. 38). Lebih dari itu pengertian kini
lebih mengenali serangkaian langkah-langkah penerapan, perancangan, dan
penggunaan. Langkah-langkah ini mencakup perencanaan, produksi, pemilihan,
pemanfaatan, dan manajemen. Perubahan disini mencerminkan bahwa, bagaimana
lingkungan dan kemajuan zaman dapat mengubah sebuah definisi dan praktek dari
teknologi pendidikan
Seperti pengakuan Settler ada kesulitan untuk menunjuk
sumber pertama istilah Teknologi Pendidikan dan kapan digunakannya, namun
setidaknya pengakuan AECT menunjukkan bahwa definisi 1963 tentang Komunikasi
Audio-visual merupakan pengertian formal yang pertama bagi Teknologi Pendidikan
Komunikasi audio-visual adalah cabang dari teori dan
praktek pendidikan yang terutama berkepentingan dengan mendesain, dan
menggunakan pesan guna mengendalikan proses belajar. Ini meliputi kegiatan:
(a) mempelajari kelemahan dan kelebihan suatu pesan
dalam proses belajar;
(b) penstrukturan dan sistematisasi oleh orang maupun instrumen dalam
lingkungan pendidikan, meliputi: perencanaan, produksi, pemilihan, manajemen
dan pemanfaatan dari komponen maupun keseluruhan sistem pembelajaran.
Tujuan praktisnya adalah pemanfaatan tiap metode dan
medium komunikasi secara efektif untuk membantu pengembangan potensi pembelajar
secara maksimal.”
UASLAND. TEK.PEN : File@Mahuri 2010 HALAMAN 2
Definisi 1970
Definisi selanjutnya merupakan definisi tahun 1970-an yang dikeluarkan oleh
Komisi Pengawas Teknologi Pendidikan. Komisi pengawas ini dibentuk dan dibiayai
oleh pemerintah Amerika Serikat untuk menguji permasalahan dan manfaat
potensial yang berhubungan dengan teknologi pendidikan di sekolah-sekolah.
Teknologi pendidikan adalah suatu cara yang sistematis dalam mendesain,
melaksanakan, dan mengevaluasi proses keseluruhan dari belajar dan pembelajaran
dalam bentuk tujuan pembelajaran yang spesifik, berdasarkan penelitian dalam
teori belajar dan komunikasi pada manusia dan mengunakan kombinasi
sumber-sumber belajar dari manusia maupun non manusia untuk membuat
pembelajaran lebih efektif.
Jadi menurut konsep ini tujuan utama teknologi pembelajaran adalah membuat
agar suatu pembelajaran lebih efektif. Bagaimana hal itu dilakukan? Dengan cara
mendesain, melaksanakan dan mengevaluasi secara sistematis berdasarkan teori
komunikasi dan belajar tentunya, serta memanfaatkan segala sumber baik yang
bersifat manusia maupun non manusia, dengan demikian, sejak tahun 1970an, sudah
ada pandangan bahwa manusia (dalam hal ini guru) bukanlah satu-satunya sumber
belajar
Definisi Silber Tahun 1970
Definisi ketiga yang banyak
berpengaruh adalah apa yang dibuat oleh Kenneth Silber yang kelak kemudian
pernah memimpin Komite AECT untuk definisi dan terminologi:
Teknologi Pembelajaran adalah pengembangan
(riset, desain, produksi, evaluasi, dukungan-pasokan, pemanfaatan) komponen
sistem pembelajaran (pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan latar) serta
pengelolaan usaha pengembangan (organisasi dan personil) secara sistematik,
dengan tujuan untuk memecahkan masalah pendidikan”.
Definisi MacKenzie dan
Eraut (1971)
Definisi dari Inggris ini ringkas,
namun terlihat begitu luas untuk mendeskripsikan Teknologi Pendidikan secara
akurat:
Teknologi Pendidikan merupakan studi
sistematik mengenai cara bagaimana tujuan pendidikan dapat dicapai”.
Definisi sebelumnya meliputi
istilah, “mesin”, instrumen” atau “media”, sedangkan dalam definisi MacKenzie
dan Eraut ini tidak menyebutkan perangkat lunak maupun perangkat
keras, tetapi lebih berorientasi pada proses.
UASLAND. TEK.PEN : File@Mahuri 2010 HALAMAN 3
Definisi AECT 1972
Pada tahun 1972, AECT berupaya
merevisi definisi yang sudah ada (1963, 1970, 1971), dengan memberikan rumusan
sebagai berikut:
“Teknologi Pendidikan adalah suatu
bidang yang berkepentingan dengan memfasilitasi belajar pada manusia melalui
usaha sistematik dalam identifikasi, pengembangan, pengorganisasian dan
pemanfaatan berbagai macam sumber belajar serta dengan pengelolaan atas
keseluruhan proses tersebut”.
Definisi AECT 1977
“Teknologi pendidikan adalah proses
kompleks yang terintegrasi meliputi orang, prosedur, gagasan, sarana, dan
organisasi untuk menganalisis masalah, merancang, melaksanakan, menilai dan
mengelola pemecahan masalah dalam segala aspek belajar pada manusia”.
Definisi AECT (2004)
Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi terutama dalam bidang pendidikan, psikologi dan
komunikasi-informasi, Teknologi Pendidikan sebagai bidang ilmu juga semakin
berkembang. Demikian pula dengan definisinya juga mengalami perbaikan. Hal itu
juga tidak dapat dilepaskan dari evaluasi dan kritik terhadap definisi 1994.
“Studi dan praktik yang berlandaskan
etika dalam menfasilitasi belajar dan meningkatkan kinerja melalui penciptaan,
penggunaan, dan pengelolaan pelbagai proses dan sumber teknologi yang tepat”
2. Penjelasan dan keterkaitan
Proses pengembangan konsep Teknologi Pendidikan yang dilandasi dan didukung
oleh tiga faktor, yaitu; Engeneering, Science, dan the Development of the audio
visual education movement.
Didasarkan atas pendekatan
historik, Januszewski (2001: 2-15) mengungkapkan bahwa tahap awal sebagai
pengantar ke arah pengembangan konsep dan istilah teknologi pendidikan
dilandasi dan dipertajam oleh tiga faktor berikut: Pertama, engineering (Bern,
1961; Szabo, 1968); Kedua, science (Finn, 1953; Ely, 1970; Jorgenson, 1981;
Saettler, 1990; Shorck, 1990), dan Ketiga, the development of the Audio Visual
education movement (Ely, 1963; Ely, 1970; Jorgerson, 1981; Saettler, 1990;
Shrock, 1990). Dari hasil kajiannya menunjukkan bahwa teknologi pendidikan
memiliki keterkaitan dan saling ketergantungan dengan ketiga faktor tersebut
(engineering, science, dan audiovisual education).
UASLAND. TEK.PEN : File@Mahuri 2010 HALAMAN 4
Dalam kaitannya
dengan engineering, pengkajian diawali dari makna engineering yang
menggambarkan kegiatan riset dan pengembangan serta usaha menghasilkan
teknologi untuk digunakan secara praktis, yang kebanyakan terdapat di bidang
industri. Saettler (1990) menyatakan bahwa Franklin Bobbitt dan W.W. Charters
menjadi perintis penggunaan istilah "educational engineering" pada
tahun 1920-an, khususnya pada pendekatan yang digunakan untuk pengembangan
kurikulum. Penggunaan istilah engineering ini digunakan pula oleh Munroe (1912)
dalam mengikat konsep ilmu managemen dalam setting pendidikan dan educational
engineering. Munroe beralasan bahwa istilah educational engeering diperlukan
dalam mengkaji tentang usaha yang besar untuk mempersiapkan anak-anak memasuki
kehidupannya, mana yang lebih baik, mana yang harus dihindari, persyaratan apa
yang perlu dipersiapkan, dimana dan mengapa mereka mengalami ketidakberhasilan.
Charters (1941) yang dinyatakan T.J. Hoover dan J.C.L. Fish mengungkapkan bahwa
engineering adalah kegiatan profesional dan sistematik dalam mengaplikasikan
ilmu untuk memanfaatkan sumber alam secara efisien dalam menghasilkan
kesejahteraan. Selanjutnya dari hasil diskusi antara konsep engineering yang
diungkapkan Charters dan konsep teknologi yang dikembangkan Noble menghasilkan
empat kesamaan, yaitu:
keduanya memerlukan usaha yang
sistimatik;
keduanya menyatakan aplikasi
ilmu;
keduanya menekankan pada
efisiensi pemanfaatan sumber; dan
tujuan dari keduanya adalah untuk
memproduksi sesuatu.
Dalam penerapannya pada
pendidikan, digambarkan bahwa usaha sistimatik perlu dilakukan setiap teknolog
pendidikan dalam setiap mengembangkan program, dan dalam penyelenggara
pembelajaran. Dalam kaitannya dengan aplikasi ilmu, Charters menyatakan bahwa
ilmu merupakan dasar dalam pendidikan, dan setiap usaha dalam pendidikan perlu
dilandasi oleh kejelasan ilmu yang digunakan. Untuk hal tersebut, diyakini
bahwa adanya titik yang sama antara educational engineering dengan industrial
engineering, keduanya menggunakan metode riset yang dilandasi oleh dasar
keilmuan. Selanjutnya, penyelenggara pendidikan perlu menetapkan efisiensi
dalam setiap usaha yang dilakukannya, pengajar perlu menetapkan bagaimana cara
yang efisien supaya peserta didik memperoleh pengalaman belajar yang maksimal.
Dalam kaitannya dengan memproduksi setiap program pembelajaran pada hakekatnya
ditujukan untuk memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik secara
maksimal sehingga masalah belajar dapat terpecahkan.
UASLAND. TEK.PEN : File@Mahuri 2010 HALAMAN 5
Terdapat tiga
perbedaan antara Charters dengan John Dewey dalam memandang ilmu dan
engineering dalam pendidikan. Pertama, kalaulah Charters menyatakan bahwa
sistimatisasi pembelajaran dan ilmu yang dipelajari menjadi ukuran dalam proses
dan hasil belajar, namun Dewey kurang setuju dengan penggunaan pendekatan
algoritmik ilmu dan engineering dalam pendidikan. Kedua, dalam metode ilmu dan
berpikir reflektif, Charters mengungkapkan bahwa adanya kesamaan tahapan metode
ilmu dan berpikir reflektif dalam metode engineering. Berpikir reflektif
merupakan artikulasi metode engineering, bersifat proses dan prosedur linier
dalam menetapkan kegiatan awal dan akhir. Sedangkan Dewey kurang setuju dengan
ide bahwa berpikir reflektif merupakan prosedur linier, menurutnya bahwa
terdapat proses yang terbuka sesuai dengan permasalahan dan hipotesis yang akan
diuji. Akan tetapi keduanya sepakat atas lima tahapan dalam berpikir reflektif.
Ketiga, bahwa Dewey kurang setuju dengan model yang terrencana pada pendidikan seperti
yang digunakan pada peran pekerja didalam industri (Munroe, 1912). Dewey
mengharapkan bahwa praktisi pendidikan perlu memanfaatkan pengalaman dan
kemampuan berpikir reflektif dalam menggunakan metode ilmu, dan menolak
penggunaan prosedur yang terstandarisasi.
Penggunaan pendekatan science
dalam bidang pendidikan termasuk teknologi pendidikan merupakan suatu
keharusan, karena konsep dan praksis pendidikan pada hakekatnya mengungkapkan
hal-hal yang terjadi secara empirik di lapangan. Herbert Kliebert (1987)
sebagai ahli Sejarah Pendidikan dan Kurikulum mengidentifikasi adanya tiga
peristiwa yang berbeda yang ditemukan pada awal abad dua puluh dalam memahami
penggunaan science dalam pendidikan. Pertama, berkaitan dengan perkembangan
anak yang didukung secara mendasar oleh konsep G Stanley Hall tentang ilmu
perkembangan. Para pendidik mengkaji perkembangan anak sesuai dengan kondisi
lingkungan mereka, tujuannya untuk mengungkap kurikulum yang paling tepat untuk
mereka. Pandangan kedua, pemanfaatan science dalam pendidikan menggunakan model
umum scientific inquiry dalam berfikir reflektif yang dikembangkan oleh Dewey.
UASLAND. TEK.PEN : File@Mahuri 2010 HALAMAN 6
Ia tertarik
untuk mengkaji model mengajar untuk keterampilan berpikir dengan menggunakan
science, dan pola science dijadikan dasar untuk menetapkan metode pembelajaran
dan bahan ajar yang akan disampaikan. Pandangan ketiga, mengungkapkan bahwa
science menjadi ukuran yang eksak dan standar yang tepat untuk memelihara dan
memprediksi keteraturan dunia (Kliebard, 1987). Sejalan dengan itu, science
dalam pendidikan menjadi laboratorium dan percobaan untuk memilih dan
menetapkan calon peserta didik, penetapan kurikulum, penetapan metode
pembelajaran, dan menilai hasil belajar peserta didik. Tujuan science dalam
pendidikan memberikan jaminan bahwa peristiwa belajar yang diharapkan memiliki
dampak terhadap efisiensi dan efektifitas pembelajaran, disamping kemampuan
hasil belajar dapat diprediksi dan dikontrol.
Faktor ketiga yang mempengaruhi
lahirnya teknologi pendidikan adalah adanya gerakan pengembangan audiovisual
(alat pandang dengar) dalam pendidikan. Berdasarkan sejarah perkembangan konsep
audiovisual pada pendidikan tidak memiliki keterkaitan dengan konsep
engineering dan science secara luas. Bahkan secara khusus teknologi pendidikan
memandang bahwa konsep audiovisual dilandasi oleh pemahaman tentang hardware
dan equipment (Finn, 1960). Kebanyakan penggunaan peralatan pendidikan di kelas
digunakan setelah Perang Dunia ke II (Lange, 1969). Oleh karena itu pemahaman
yang populer menunjukkan bahwa teknologi pendidikan merupakan hasil evolusi
gerakan penggunaan audiovisual pada pendidikan.
Hoban yang menyelesaikan doktor
sebelum Dale di OHIO State University telah menulis buku tentang Visualizing
the Curriculum tahun 1937 bersama ayahnya dan Samual Zisman, secara sistematis
mereka mengungkapkan hubungan antara bahan ajar secara kongkrit dengan proses
belajar. Mereka mulai menggambarkan tentang visual aid atau alat bantu mengajar
yang berupa gambar, model, objek yang berupa pengalaman belajar kongkrit kepada
peserta didik dengan tujuan untuk memperkenalkan, membangun, memperkaya, atau
mengklarifikasi konsep abstrak. Kemudian Dale mencoba mendiversifikasi
pengalaman belajar di dalam kelas. Buku yang pertama ditulisnya adalah Audio
Visual Methods in Teaching (1946), yang menjelaskan "Cone of
Experience" atau kerucut pengalaman sebagaimana populer sampai saat
sekarang. Konsepnya sangat mempengaruhi dan mengilhami pengembangan konsep
audiovisual.
3. Bagaimana menurut anda Ungkapan dari konsep evolusi
Teknologi Pendidikan bahwa Teknologi Pendidikan sama dengan media pembelajaran.
Perkembangan kajian teknologi
pendidikan menghasilkan berbagai konsep dan praktek pendidikan yang banyak
memanfaatkan media sebagai sumber belajar. Oleh karena itu, terdapat persepsi
bahwa teknologi pendidikan sama dengan media, padahal kedudukan media berfungsi
sebagai sarana untuk mempermudah dalam penyampaian informasi atau bahan
belajar. Dari segi sistem pendidikan, kedudukan teknologi pendidikan berfungsi
untuk memperkuat pengembangan kurikulum terutama dalam disain dan pengembangan,
serta implementasinya, bahkan terdapat asumsi bahwa kurikulum berkaitan dengan
"what", sedangkan teknologi pendidikan mengkaji tentang "how".
Dalam kaitannya dengan pembelajaran, teknologi pendidikan memperkuat dalam
merekayasa berbagai cara dan teknik dari mulai tahap disain, pengembangan,
pemanfaatan berbagai sumber belajar, implementasi, dan penilaian program dan
hasil belajar.
UASLAND. TEK.PEN : File@Mahuri 2010 HALAMAN 7
Berdasarkan
sejarah perkembangannya, istilah teknologi pendidikan mulai digunakan sejak
tahun 1963, dan secara resmi diikrarkan oleh Association of Educational and
Communication Technology (AECT) sejak tahun 1977, walaupun adakalanya terjadi
overlapping penggunaan istilah tersebut dengan teknologi pembelajaran. Namun,
kedua istilah tersebut masih terus digunakan sesuai dengan pertimbangan
penggunanya. Finn (1965) mengungkapkan bahwa di Inggris dan Kanada lebih lazim
digunakan istilah teknologi pendidikan, sedangkan di Amerika Serikat banyak
digunakan istilah teknologi pembelajaran. Tapi adakalanya kedua istilah
tersebut digunakan secara serempak dalam kegiatan yang sama. Dan akhir-akhir
ini berkembang konsep bahwa teknologi pembelajaran lebih layak digunakan untuk
konteks penyelenggaraan pengajaran.
4. Bagai mana ferspektif anda
kedepan mengenai kawasan teknologi pendidikan yang akan datang dengan
menunjukkan eksistensi Teknologi Pendidikan dalam mengatasi kesulitan belajar
peserta didik
Kawasan teknologi pendidikan
menggambarkan bahwa semua usaha dalam teknologi pendidikan ditujukan untuk
memfasilitasi dan memecahkan masalah belajar peserta didik. Usaha-usaha
tersebut terdiri dari pengelolaan, pengembangan sistem pembelajaran dengan memanfaatkan
sumber belajar.
Dengan adanya kawasan sebagaimana
dikemukakan di atas, teknologi pembelajaran sampai dengan masa definisi 1994
telah memiliki kepastian tentang ruang lingkup wilayah garapannya. Meski ke
depannya jumlah kawasan beserta kategorinya akan semakin berkembang, sejalan
dengan perkembangan dalam bidang teknologi dan pendidikan, serta disiplin ilmu
lainnya yang relevan, sebagai penopangnya. Setiap kawasan tidak berjalan
sendiri-sendiri, tetapi memiliki hubungan yang sinergis.
5. Perbedaan pandangan kedua ahli
Heinich (1970) dan Hoban (1965) mengenai management of instruction
UASLAND. TEK.PEN : File@Mahuri 2010 HALAMAN 8
Heinich (1970)
memiliki konsep bahwa managemen telah dikembangkan bersamaan dengan
prinsip-prinsip sistem di dalam merancang pembelajaran, bahkan konsepnya
sejalan dengan pendapat Hoban (1965) walaupun dalam peristilah yang berbeda. Ia
menyebutnya dengan istilah ”management of instruction”, sedangkan Hoban
menggunakan istilah ”management of learning”. Menurutnya bahwa management of
instruction tidak hanya mengembangkan dan menggunakan bahan belajar dan teknik
pembelajaran saja akan tetapi termasuk juga keperluan-keperluan logistik,
pendekatan sosiologis, dan faktor ekonomi. Bahkan adanya perubahan paradigma
pemanfaatan teknologi pendidikan dalam sistem pendidikan yang pada awalnya
kedudukan Audiovisual dimanfaatkan untuk kepentingan pengajaran di kelas pada
saat guru mengajar, berubah dengan menempatkan teknologi pendidikan berada dan
memberi kontribusi di dalam proses pengembangan kurikulum. Dasar asumsinya
bahwa perancangan kurikulum dan tahap pengembangannya menjadi sumber penetapan
strategi pembelajaran yang mencakup taktik dalam penyelenggaraan pembelajaran.
Di samping itu kedudukan guru tidak hanya penentu model pengajaran yang akan
digunakannya, akan tetapi ia pun sebagai bagian dari perekayasa dalam
penyelenggaraan pembelajaran.
UASLAND. TEK.PEN : File@Mahuri 2010 HALAMAN 9
UJIAN
AKHIR SEMESTER
MATA
KULIAH LANDASAN TENOLOGI PENDIDIAN
|
OLEH
: MAHURI
NPM
: A2M009125
DOSEN PENGAMPU: PROF.DR.
JOHANES SAPRI, M.Pd
DR. SUHIRMAN, M.Pd
Diajukan
Sebagai Tugas Text Home UAS MataKuliah Land. TP
Semester
1 (Satu)
Program
Pascasarjana (S2)
Teknologi
Pendidikan FKIP Universitas Bengkulu
|
PROGRAM
PASCASARJANA (S2)
TEKNOLOGI
PENDIDIKAN
FKIP
UNIVERSITAS BENGKULU
TAHUN
AKADEMIK 2010
|
Definisi 1963
Di tahun 1963, definisi teknologi pendidikan digambarkan bukan hanya sebagai
sebuah media. Definisi ini (Ely, 1963) menghasilkan dengan suatu komisi
pengawas yang dibentuk olep Departemen Pendidikan Audiovisual (sekarang dikenal
sebagai Asosiasi Teknologi dan Komunikasi Pendidikan). Hal ini merupakan suatu
hal yang berangkat dari pandangan “tradisional” terhadap teknologi pendidikan.
Definisi kini lebih memusat pada desain pembelajaran dan penggunaan media
sebagai pengendalian proses belajar (p. 38). Lebih dari itu pengertian kini
lebih mengenali serangkaian langkah-langkah penerapan, perancangan, dan
penggunaan. Langkah-langkah ini mencakup perencanaan, produksi, pemilihan,
pemanfaatan, dan manajemen. Perubahan disini mencerminkan bahwa, bagaimana
lingkungan dan kemajuan zaman dapat mengubah sebuah definisi dan praktek dari teknologi
pendidikan
Seperti pengakuan Settler ada kesulitan untuk menunjuk
sumber pertama istilah Teknologi Pendidikan dan kapan digunakannya, namun
setidaknya pengakuan AECT menunjukkan bahwa definisi 1963 tentang Komunikasi
Audio-visual merupakan pengertian formal yang pertama bagi Teknologi Pendidikan
“Komunikasi audio-visual adalah cabang dari teori dan
praktek pendidikan yang terutama berkepentingan dengan mendesain, dan menggunakan
pesan guna mengendalikan proses belajar. Ini meliputi kegiatan:
(a) mempelajari kelemahan dan kelebihan suatu pesan
dalam proses belajar;
(b) penstrukturan dan sistematisasi oleh orang maupun instrumen dalam
lingkungan pendidikan, meliputi: perencanaan, produksi, pemilihan, manajemen
dan pemanfaatan dari komponen maupun keseluruhan sistem pembelajaran.
Tujuan praktisnya adalah pemanfaatan tiap metode dan
medium komunikasi secara efektif untuk membantu pengembangan potensi pembelajar
secara maksimal.”
Meski masih menggunakan istilah komunikasi
audio-visual, definisi di atas telah menghasilkan kerangka dasar bagi
pengembangan Teknologi Pembelajaran pada masa berikutnya serta dapat mendorong
terjadinya peningkatan pembelajaran.
Menurut Januszewski dan Persichitte, pada definisi ini
terdapat tiga peralihan konseptual utama yang memberikan kontribusi pada
formulasi pelbagai pengertian Teknologi Pendidikan sebagai suatu teori:
1) Penggunaan konsep
“proses” dari pada konsep “produk”;
2) penggunaan istilah “pesan” dan
“instrumentasi media” daripada “bahan” dan “mesin”
3) pengenalan pada bagian-bagian
teori belajar dan teori komunikasi. Memahami tiga gagasan tersebut dan
dampaknya antara satu dengan lainnya merupakan kunci penting untuk memahami
gagasan TP tahun 1963.
Tujuan definisi 1963 ialah menemukan definisi kerja
bidang Teknologi Pembelajaran yang dapat digunakan sebagai kerangka
pengembangan masa depan dan dapat mendorong peningkatan pembelajaran
(Ely,1963:8). Definisi ini memicu perubahan nama dari Department of Audiovisual
Instruction (Departemen Pembelajaran Audiovisual) menjadi Association for
Educational Communication and Technology (AECT = Asosiasi Komunikasi dan
Teknologi Pendidikan)
Faktor penting lain pada difinisi 1963 adalah
pencantuman daftar fungsi dan peranan mereka yang terlibat dalam bidang. Pendekatan
ini membantu perubahan dari orientasi pada produk, yang memusatkan perhatian
pada benda yang mengidentifikasikan bideng mesin, ke orientasi proses yang
menekankan pada adanya hubungan yang dinamis dan berkesinambungan antara
pristiwa (Ely, 1963)
Fase Permulaan Lahirnya Konsep
Perkembangan selanjutnya adalah termasuk “Fase
Permulaan” disusunnya konsep teknologi pendidikan secara sistematis,
berlangsung pada tahun 1963 dengan bercirikan pergeseran audiovisual ke arah
teknologi pendidikan. Pada masa ini mulai disusun definisi secara formal
teknologi pendidikan sebagaimana dinyatakan oleh AECT, walaupun perumusan
definisinya masih kental dengan kandungan audiovisual communication. Formulasi
definisi yang disusun dengan berfokus pada pemahaman bahwa teknologi pendidikan
adalah teori dan beorientasi konsep yang membedakannya dengan konsep
audiovisual.
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa kandungan
definisi teknologi pendidikan memuat tiga ide utama yaitu:
1.menggunakan konsep proses dibanding konsep produk;
2.menggunakan
istilah massage dan media instrumentation dibanding istilah materials dan
machine; dan
3. memperkenalkan bagian penting dari belajar dan teori komunikasi (Ely,
1963: 19).
Dari kandungan definisi tersebut maka sejak tahun 1963 terdapat pemahaman
bahwa teknologi pendidikan memperoleh kontribusi konsep dari konsep komunikasi,
teori belajar, dan teaching machine and programmed instruction.
Teori komunikasi yang dikembangan Harold Lasswell
merupakan awal pijakan dalam mempelajari konsep komunikasi dalam pendidikan.
Hal ini diperkuat Dale yang menekankan perlunya komunikasi dalam memulai
mengajar dan menulis.
Konsep komunikasi yang terpilih pada masa itu bergeser
dari komunikasi satu arah ke komunikasi dua arah atau interaktif. Konsep
komunikasi yang diungkapkan Shannon dan Weaver’s sebagai hasil kajiannya
terhadap komunikasi telpon dan teknologi radio menjadi model yang khas yang
disebut Mathematical Theory of Communication, dengan komponen-komponennya yang
terdiri dari: Information Source, Massage, Transmitter, Signal, Noise Source,
Signal Receiver, Reciever, Massage, dan Destination, konsep teori komunikasinya
tergolong pada komunikasi linier. Kemudian David Berlo (1960) yang banyak
diilhami model Shannon dan Weaver menghasilkan temuannya Model Komunikasi
Sender, Massage, Channel, Receiver (SMCR). Konsepnya banyak memberikan
perhatian terhadap adanya Massage (pesan) dan Channel (saluran). Model ini
menjadi dasar pengembangan dalam komunikasi audiovisual pada pendidikan.
Perkembangan ke arah komunikasi interaktif memiliki dampak terhadap
perkembangan konsep teknologi pendidikan yang banyak memperhatikan perubahan
posisi decoder dan encoder dalam menerima, mengolah, dan menyampaikan feed back
pesan sehingga terjadinya saling memberi informasi.
1. Pengembangan dan penggunaan
teaching machine dan program pembelajaran;
2. spesifikasi tujuan pendidikan
ke arah behavioral objectives; dan
3. pencocokan konsep operant
conditioning dengan konsep model komunikasi (Ely, 1963).
Keterkaitan teori belajar ini terus dikaji oleh para
ahli teknologi pendidikan, sehingga tidak hanya psikologi behavior saja yang
memiliki kontribusi terhadap teknologi pendidikan akan tetapi bergeser ke arah
psikologi kognitif sebagaimana dikembangkan oleh Robert M Gagne (The Conditions
of Learning and theory of instruction, 1916). Kedudukan teori belajar dijadikan
sumber inspirasi di dalam pengembangan model pembelajaran, terutama di dalam
penetapan tingkah laku yang harus dikuasai peserta didik, karakteristik peserta
didik, kondisi-kondisi pembelajaran yang harus dirancang, beserta berbagai
fasilitas belajar yang dapat memperkuat pengalaman belajar peserta didik.
Kajian teaching machine and programmed instruction
dilakukan melalui studi science in education (Skinner, 1954; Saettler, 1990),
gerakan efisiensi pendidikan (Stolurow, 1961; Dale, 1967), dan kajian kurikulum
untuk pengajaran individual (Stolurow, 1961; Dale, 1967; Saettler, 1990).
Walaupun teaching machine ini sangat populer dan diawali kajiannya oleh
Skinner, akan tetapi E L Thorndike (1912) yang mulai mengembangkan konsep ke
arah pemanfaatan teaching machine dan programmed instruction (Dale, 1967; Ely,
1970; Saettler, 1990). Dasar-dasar pemahaman teaching machine, programmed
instruction diantaranya pemahaman tentang perbedaan individual,
pengorganisasian pembelajaran, dan penilaian hasil belajar.
Skinner mengungkapkan bahwa teaching machine sangat
mendasar dalam proses pembelajaran, terutama dalam memperkuat (reinforcement)
pembelajaran. Menurutnya bahwa teaching machine adalah instrumen yang simpel
dan menyatu dengan usaha penguatan pembelajaran, sehingga peserta didik dapat
memperkuat perolehan pengalaman belajarnya. Konsep reinforcement dalam
pengajaran ini banyak diwarnai oleh hukum operant conditioning yang mengikuti
Thorndike’s law effect.
Program pembelajaran pada hakekatnya ditujukan untuk
kepentingan efesiensi pembelajaran, sehingga setiap penyelenggaraan
pembelajaran perlu didasarkan atas prinsip-prinsip pengajaran yang tepat.
Kalaulah sistem pembelajaran itu sebagai proses pengajaran dan belajar, serta
didalamnya terkandung proses komunikasi, maka perlu dianalisis
komponen-komponen apa yang perlu dipersiapkan untuk terjadinya proses
pengajaran dan belajar tersebut. Pada masa tersebut pemanfaatan media audiovisual
khususnya teaching machine dalam pembelajaran menjadi kajian pokok sehingga
mewarnai perumusan definisi teknologi pendidikan versi tahun 1960-an.
Sumbangan dari komunikasi, teori belajar, dan the man-machine system terhadap perumusan teknologi pendidikan sebagaimana dirumuskan oleh National Education Association (NEA) dalam istilah komunikasi audiovisual diakui AECT sebagai definisi formal yang pertama untuk teknologi pendidikan, walaupun disebutnya dengan menggunakan istilah komunikasi audiovisual.
Sumbangan dari komunikasi, teori belajar, dan the man-machine system terhadap perumusan teknologi pendidikan sebagaimana dirumuskan oleh National Education Association (NEA) dalam istilah komunikasi audiovisual diakui AECT sebagai definisi formal yang pertama untuk teknologi pendidikan, walaupun disebutnya dengan menggunakan istilah komunikasi audiovisual.
Menurut NEA bahwa komunikasi audiovisual adalah cabang
dari teori dan praktek pendidikan yang secara khusus berkaitan dengan desain
dan pemanfaatan pesan untuk mengendalikan proses belajar. Kegiatannya meliputi:
(a).
Mempelajari kelebihan dan kekurangan yang unik maupun yang relatif dari pesan
baik yang diungkapkan dalam bentuk gambar, maupun yang bukan, dan yang
digunakan untuk tujuan apapun dalam proses belajar; dan
(b) penyusunan
dan penataan pesan oleh manusia dan alat dalam suatu lingkungan pendidikan.
Kegiatan ini meliputi perencanaan, produksi, pemilihan, manajemen dan
pemanfaatan dari komponen serta seluruh sistem pembelajaran. (Ely, 1963: 18-19)
Konsep yang berkembang pada masa permulaan terus
dikaji ulang dan disesuaikan dengan perkembangan pemanfaatan audiovisual dalam
pendidikan. Hasil kajian tahun 1965 melahirkan adanya beberapa pilihan, yaitu:
1). dimungkinkan untuk
menggunakan kembali label audiovisual;
2). merubah nama audiovisual
menjadi educational communication;
3). merubah nama audiovisual
menjadi learning resources; dan
4). merubah nama audiovisual
menjadi instructional technology or educational technology.
Sejalan
dengan perubahan Department of Audiovisual Instruction (DAVI) menjadi
Association for Educational Communication and Technology (AECT), maka secara
serempak bidang kajian audiovisual berubah menjadi Instructional technology
atau educational technology. Bahkan mencakup kajian educational communication.
Silber (1972), mengungkapkan bahwa perubahan ini memiliki implikasi terhadap
cakupan pekerjaan educational technology yang akan menghasilkan keanekaragaman
program dan rancangan pembelajaran yang dapat dimanfaatkan peserta didik untuk
memenuhi kebutuhan belajarnya.
Terdapat tiga konsep utama yang memberikan kontribusi
terhadap perumusan definisi versi tahun1972 sehingga teknologi pendidikan
dijadikan sebagai bidang kajian, yaitu:
1). keluasan pemaknaan learning
resources;
2). kontribusi program individual
or personal instruction, dan
3). pemanfaatan system approach.
Ketiga konsep ini digabungkan ke dalam suatu
pendekatan untuk memfasilitasi belajar, menciptakan keunikan, dan memiliki
alasan untuk kepentingan pengembangan dalam bidang teknologi pendidikan.
Learning resources sebagai konsep yang pertama yang
mendukung perumusan definisi 1972, dimaknai sebagai lingkungan belajar yang
dapat memberikan, memperkuat, dan menambah informasi yang disampaikan pengajar.
Ely (1972) mengklasifikasi learning resources ini ke dalam empat katagori,
yaitu: bahan belajar, peralatan dan fasilitas, orang, dan lingkungan.
Klasifikasi lain membaginya ke dalam dua kelompok, yaitu: human resources, dan
non-human resources. Secara teknis, pengadaan learning resources ini dibagi ke
dalam dua pola, yaitu by design, dan by utilization. Sumber belajar jenis by
utilization kadangkala disebut dengan “real world resources”, karena tidak
khusus dirancang untuk kepentingan suatu pembelajaran tetapi memanfaatkan
sumber belajar yang tersedia dalam dunia nyata untuk membantu proses
pembelajaran. Sedangkan maksud sumber belajar jenis by design adalah berbagai
sumber belajar yang dirancang dan diproduksi pengadaannya untuk kepentingan
penyelenggaraan pembelajaran. Melalui sumber belajar macam ini diharapkan dapat
mengurangi kedudukan guru sebagai “transmitter of information” penyampai
informasi, akan tetapi menjadi pengajar yang dapat memberi kemudahan kepada
peserta didik untuk mencari dan memperoleh informasi yang luas dan banyak
sesuai dengan topik yang sedang dipelajarinya.
Faktor kedua yang banyak memberikan kontribusi
terhadap definisi 1972 adalah berkembangnya konsep dan penggunaan individual or
personal instruction dalam penyelenggaraan pembelajaran. Hal ini diakibatkan
oleh tumbuhnya berbagai kebutuhan belajar yang tidak dapat dilayani dalam pembelajaran
di kelas, belum terakomodasi dalam kurikulum yang diselenggarakan di sekolah,
dan atau adanya keinginan untuk meningkatkan pemahaman mengenai bahan belajar
yang dipelajari di sekolah. Maksud dari individual or personal instruction
adalah sejumlah bahan ajar yang disampaikan melalui teknik yang memungkinkan
untuk dapat belajar secara perorangan.
Empat model program individualized instruction yang
sangat populer yang menjadi kajian bidang teknologi pendidikan, adalah: Mastery
Learning yang dikembangkan Bloom (1968); Individually Prescribed Instruction
(IPI) yang dikembangkan di University of Pittsburg tahun 1964; Personalized
System of Instruction (PSI) yang dikembangkan Keller Plan (1968); dan
Individually Guided Education (IGE) yang dikembangkan oleh Wisconsin Research
and Development tahun 1976.
Kajian Mastery Learning banyak mempengaruhi konsep individualized instruction pada tahun 1960 an dan 1970 an. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa melalui mastery learning dapat diprediksi bahwa 95 % peserta didik dapat mencapai tingkat keberhasilan belajar jika mereka disediakan waktu belajar yang tepat. Melalui pendekatan individual ini peserta dapat belajar secara cepat dan independen, bahkan pendekatan ini menekankan pada penyelesaian belajar untuk bagian tertentu secara utuh sebelum melanjutkan kepada bagian lainnya. Bloom (1968) mengidentifikasi adanya lima variabel yang sangat penting dalam program mastery learning, yaitu: kualitas pembelajaran, kecakapan untuk memahami pelajaran, ketekunan, waktu, dan kecerdasan.
Kajian Mastery Learning banyak mempengaruhi konsep individualized instruction pada tahun 1960 an dan 1970 an. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa melalui mastery learning dapat diprediksi bahwa 95 % peserta didik dapat mencapai tingkat keberhasilan belajar jika mereka disediakan waktu belajar yang tepat. Melalui pendekatan individual ini peserta dapat belajar secara cepat dan independen, bahkan pendekatan ini menekankan pada penyelesaian belajar untuk bagian tertentu secara utuh sebelum melanjutkan kepada bagian lainnya. Bloom (1968) mengidentifikasi adanya lima variabel yang sangat penting dalam program mastery learning, yaitu: kualitas pembelajaran, kecakapan untuk memahami pelajaran, ketekunan, waktu, dan kecerdasan.
Disamping mastery learning yang memiliki kontribusi
terhadap perkembangan konsep teknologi pendidikan dalam kaitannya dengan
individual instructin adalah Fred Keller (1968) yang mengembangkan the
Personalized System of Instruction (PSI) sebagai hasil kajiannya di perguruan
tinggi. Konsep ini merupakan gabungan antara mastery learning dengan program
pembelajaran yang konvensional, dan ditambah dengan motivasi. Pengajaran tatap
muka dirancang sebagai suplemen untuk memperkaya penguasaan bahan belajar
dibanding sebagai sumber informasi yang pokok untuk ketuntasan pemahaman bahan
ajar. Keller menggunakan pengawas atau pembimbing yang menguasai bahan ajar,
dan ditugaskan untuk mencatat hasil tes dan memberikan tutorial kepada peserta
didik yang memerlukannya.
Kemudian di Universitas Pittsburgh (1964) dikembangkan
pula Individually Prescribed Instruction (IPI) untuk kepentingan pengajaran di
sekolah dasar. IPI ini hampir sama dengan PSI yang menggunakan prinsip
penggabungan teori belajar behavioris dengan mastery learning. Sebelum peserta
didik mempelajari bahan belajar mereka diberikan tes awal untuk menetapkan
kemampuan awal peserta didik dan tingkatan bahan belajar yang akan
dipelajarinya. Tes awal ini yang membedakan antara konsep IPI dengan model yang
dikembangkan Keller dan mastery learning. Dan menurut hasil kajiannya tes awal
ini lebih efektif dalam menetapkan awal peserta didik mempelajari bahan ajar
dan penguasaan keseluruhan mata pelajaran.
Perubahan dari AV communications ke teknologi
pendidikan yang berlangsung pada tahun 1972 melahirkan definisi teknologi
pendidikan versi 1972 yang mengarah pada suatu bidang kajian dalam pendidikan.
Konsep yang terkandung dalam memaknai teknologi pendidikan ini terus dikritisi
para ahli pendidikan dan dihasilkan pemahaman bahwa teknologi pendidikan itu
merupakan suatu proses bukan hanya untuk bidang kajian saja, bahkan termasuk
teori dan profesi teknologi pendidikan. Secara konsep perkembangan kajian ini
melahirkan definisi versi 1977 yang didukung oleh tiga konsep utama yaitu:
learning resources, managemen, dan pengembangan.
Association of Educational and Communication Technology (AECT) pada tahun
1977 menerbitkan buku The Definition of Educational Technology yang
mengungkapkan:
1)
hasil analisis yang sistematis dan menyeluruh tentang ide dan konsep bidang
teknologi pendidikan; dan
2) keterkaitan antara ide dan konsep yang satu dan lainnya.
Buku tersebut mengungkapkan sejarah dari bidang
kajian, alasan perumusan definisi, kerangka teoritis yang melandasi definisi,
diskusi mengenai aplikasi praktis, kode etik profesi organisasi, dan glossary
peristilahan yang memiliki keterkaitan dengan definisi. Termasuk bahasan yang
menjawab kontroversi antara istilah educational technology dan instructional
technology, yang menunjukkan bahwa instructional technology sebagai bagian
”subset” dari educational technology yang merupakan realitas pengajaran dalam
pendidikan.
Kontribusi terhadap perumusan kembali definisi teknologi pendidikan versi 1972 menjadi versi 1977 sejalan dengan perubahan klasifikasi learning resources, yang pada awalnya hanya meliputi empat kategori yaitu: bahan, peralatan, orang, dan lingkungan, menjadi enam (6) kategori atau kelompok, yaitu: pesan, orang, bahan, peralatan, teknik, dan lingkungan.
Kontribusi terhadap perumusan kembali definisi teknologi pendidikan versi 1972 menjadi versi 1977 sejalan dengan perubahan klasifikasi learning resources, yang pada awalnya hanya meliputi empat kategori yaitu: bahan, peralatan, orang, dan lingkungan, menjadi enam (6) kategori atau kelompok, yaitu: pesan, orang, bahan, peralatan, teknik, dan lingkungan.
Terdapat tiga alasan dari konsep yang terkandung dalam
learning resources versi 1977, yaitu: 1) keluasan sumber belajar; 2) media; dan
3) pengadaan sumber melalui rancangan dan pemanfaatan. Keluasan sumber belajar
menjadi dasar kemungkinan adanya variasi penggunaan model teknologi pendidikan
dalam memecahkan masalah belajar. Melalui sumber belajar yang bervariasi maka
model pembelajaran dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan belajar peserta
didik, sistem penyampaian, dan pemberian pengalaman belajar kepada peserta
didik. Pemanfaatan media ditujukan untuk mentransformasikan informasi, sehingga
dikembangkan model pembelajaran dengan memanfaatkan media tersebut, seperti
contoh media audio visual dimanfaatkan untuk model pembelajaran melalui audio
visual. Sedangkan pengadaan sumber belajar masih melanjutkan dari konsep versi
1972, yaitu adanya pengadaan yang dirancang (by design), dan yang dimanfaatkan
(by utilization). Pengadaan sumber belajar yang dirancang dan yang dimanfaatkan
keduanya ditetapkan melalui analisis sistem untuk menetapkan komponen
pembelajaran yang paling cocok untuk kepentingan belajar peserta didik dalam
mencapai tujuan secara efisien dan efektif. Perbedaannya terletak pada proses
pengadaan yaitu adanya rancangan dan produk yang sesuai dengan keperluan model
pembelajaran, dan di lain pihak adanya sumber belajar yang dimanfaatkan berupa
dunia nyata sebagai lingkungan belajar untuk kepentingan pembelajaran. Dalam
makna bahwa learning resources yang sudah ada di sekeliling peserta didik
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan belajar.
Managemen menjadi pendukungan kedua dalam membangun
definisi teknologi pendidikan versi 1977, hal ini merupakan pengaruh dari
perkembangan konsep managemen terhadap gerakan efesiensi pendidikan. Pada
awalnya managemen mempengaruhi terhadap administrasi sekolah, dan kemudian
mempengaruhi kepada pembelajaran di kelas. Managemen ini dipandang sebagai
proses, yang sejak definisi 1963 memiliki keterkaitan dengan dengan disain dan
pemanfaatan pesan pendidikan. Pada tahun 1972, konsep managemen terlihat lebih
kental dalam bidang kajian teknologi pendidikan. Diskusi yang berkembang saat
itu sepakat bahwa managemen memiliki keterkaitan dengan teknologi secara umum,
dan dalam kaitannya dengan teknologi pendidikan terlihat bahwa proses belajar
dan mengajar memerlukan adanya langkah-langkah proses pembelajaran, pengelolaan
sistem pembelajaran, dan pengawasan. Untuk itu, disarankan bahwa guru perlu
memiliki pemahaman tentang managemen, karena mereka sebagai manager di dalam
kelas yang memerlukan kemampuan pengelolaan kelas secara baik.
Heinich (1970) memiliki konsep bahwa managemen telah
dikembangkan bersamaan dengan prinsip-prinsip sistem di dalam merancang
pembelajaran, bahkan konsepnya sejalan dengan pendapat Hoban (1965) walaupun
dalam peristilah yang berbeda. Ia menyebutnya dengan istilah ”management of
instruction”, sedangkan Hoban menggunakan istilah ”management of learning”.
Menurutnya bahwa management of instruction tidak hanya mengembangkan dan menggunakan
bahan belajar dan teknik pembelajaran saja akan tetapi termasuk juga
keperluan-keperluan logistik, pendekatan sosiologis, dan faktor ekonomi. Bahkan
adanya perubahan paradigma pemanfaatan teknologi pendidikan dalam sistem
pendidikan yang pada awalnya kedudukan Audiovisual dimanfaatkan untuk
kepentingan pengajaran di kelas pada saat guru mengajar, berubah dengan
menempatkan teknologi pendidikan berada dan memberi kontribusi di dalam proses
pengembangan kurikulum. Dasar asumsinya bahwa perancangan kurikulum dan tahap
pengembangannya menjadi sumber penetapan strategi pembelajaran yang mencakup
taktik dalam penyelenggaraan pembelajaran. Di samping itu kedudukan guru tidak
hanya penentu model pengajaran yang akan digunakannya, akan tetapi ia pun sebagai
bagian dari perekayasa dalam penyelenggaraan pembelajaran. Perubahan paradigma
tersebut sebagaimana terlihat dalam bagan berikut:
Dalam definisi versi 1977 ditetapkan bahwa managemen
memiliki dua tahap, yaitu adanya managemen organisasi dan managemen personal.
Margaret Chisholm dan Donald Ely (1976) mengungkapkan bahwa tugas kedua
managemen tersebut diperlukan adanya keseimbangan. Menurutnya didalam program
pembelajaran melalui media terdapat enam (6) hal yang harus menjadi tanggung
jawab managemen organisasi, yaitu: penetapan tujuan, perencanaan program,
pendanaan, perencanaan dan pengelolaan fasilitas, akses organisasi dan sistem
penyampaian, dan penilaian. Dan managemen personal memiliki enam tugas
pula, yaitu: penetapan tujuan, rekrutmen, pemanfaatan, pembagian personal,
peningkatan kemampuan staf, penetapan rancangan tugas, penilaian kinerja, dan
pelaksanaan pengawasan.
Penggunaan istilah managemen dalam definisi teknologi pendidikan ini menjadi diskusi yang hangat diantara para ahli, akan tetapi dari segi fungsinya mereka sepakat bahwa fungsi managemen ini menjadi hal yang penting untuk mengelola berbagai macam hal yang berkaitan dengan perancangan, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian pendidikan yang menggunakan pendekatan teknologi pendidikan.
Kontribusi ketiga terhadap perumusan definisi tahun 1977 adalah pengembangan pendidikan. Istilah pengembangan pendidikan disebut pula dengan istilah teknologi pendidikan yang secara sistematik menyangkut desain, produksi, penilaian, dan pemanfaatan sistem pendidikan, hal ini dapat diidentifikasi sebagai fungsi pengembangan pendidikan. Pengembangan pendidikan menggunakan pendekatan sistem dan pengembangan sistem instruksional yang diwujudkan dalam tahapan-tahapan riset dan pengembangan dari mulai identifikasi masalah belajar, disain, pengembangan, produksi model pembelajaran, uji coba model, pemanfaatan model pembelajaran, dan penyebarannya. Konsep pengembangan ini sejalan dengan konsep inovasi dan difusi yang dikembangkan Everet M Rogers (1962).
.
Penggunaan istilah managemen dalam definisi teknologi pendidikan ini menjadi diskusi yang hangat diantara para ahli, akan tetapi dari segi fungsinya mereka sepakat bahwa fungsi managemen ini menjadi hal yang penting untuk mengelola berbagai macam hal yang berkaitan dengan perancangan, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian pendidikan yang menggunakan pendekatan teknologi pendidikan.
Kontribusi ketiga terhadap perumusan definisi tahun 1977 adalah pengembangan pendidikan. Istilah pengembangan pendidikan disebut pula dengan istilah teknologi pendidikan yang secara sistematik menyangkut desain, produksi, penilaian, dan pemanfaatan sistem pendidikan, hal ini dapat diidentifikasi sebagai fungsi pengembangan pendidikan. Pengembangan pendidikan menggunakan pendekatan sistem dan pengembangan sistem instruksional yang diwujudkan dalam tahapan-tahapan riset dan pengembangan dari mulai identifikasi masalah belajar, disain, pengembangan, produksi model pembelajaran, uji coba model, pemanfaatan model pembelajaran, dan penyebarannya. Konsep pengembangan ini sejalan dengan konsep inovasi dan difusi yang dikembangkan Everet M Rogers (1962).
.
Definisi 1970
Definisi selanjutnya merupakan definisi tahun 1970-an yang dikeluarkan oleh
Komisi Pengawas Teknologi Pendidikan. Komisi pengawas ini dibentuk dan dibiayai
oleh pemerintah Amerika Serikat untuk menguji permasalahan dan manfaat
potensial yang berhubungan dengan teknologi pendidikan di sekolah-sekolah.
Teknologi pendidikan adalah suatu cara yang sistematis dalam mendesain,
melaksanakan, dan mengevaluasi proses keseluruhan dari belajar dan pembelajaran
dalam bentuk tujuan pembelajaran yang spesifik, berdasarkan penelitian dalam
teori belajar dan komunikasi pada manusia dan mengunakan kombinasi
sumber-sumber belajar dari manusia maupun non manusia untuk membuat
pembelajaran lebih efektif.
Jadi menurut konsep ini tujuan utama teknologi pembelajaran adalah membuat
agar suatu pembelajaran lebih efektif. Bagaimana hal itu dilakukan? Dengan cara
mendesain, melaksanakan dan mengevaluasi secara sistematis berdasarkan teori
komunikasi dan belajar tentunya, serta memanfaatkan segala sumber baik yang
bersifat manusia maupun non manusia, dengan demikian, sejak tahun 1970an, sudah
ada pandangan bahwa manusia (dalam hal ini guru) bukanlah satu-satunya sumber
belajar
Definisi ketiga yang banyak
berpengaruh adalah apa yang dibuat oleh Kenneth Silber yang kelak kemudian
pernah memimpin Komite AECT untuk definisi dan terminologi:
“Teknologi Pembelajaran adalah
pengembangan (riset, desain, produksi, evaluasi, dukungan-pasokan, pemanfaatan)
komponen sistem pembelajaran (pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan latar)
serta pengelolaan usaha pengembangan (organisasi dan personil) secara
sistematik, dengan tujuan untuk memecahkan masalah pendidikan”.
Definisi ini berbeda dengan definisi
sebelumnya dalam tiga hal: pertama, pandangan tentang pengembangan. Pada
definisi sebelumnya yang dimaksud dengan pengembangan lebih diartikan pada
pengembangan potensi manusia sedangkan pada definisi Silber, istilah
pengembangan bersifat terbuka memuat perancangan, produksi, pemanfaatan dan
evaluasi teknologi untuk pembelajaran; Kedua, definisi 1970, demikian
pula definisi 1963, beranggapan bahwa TP bersifat man-machine system dan
itu berkaitan dengan bahan. Sedangkan definisi ini tidak hanya demikian tetapi
juga merubah skup TP dengan menambah komponen bidang ini seperti teknik dan
latar. Dan terakhir, gagasan tentang Teknologi Pendidikan sebagai upaya
problem solving merupakan sumbangsih original Silber, dan itu merupakan inti
dari definisi tersebut. Ide ini kemudian banyak diadopsi oleh definisi
selanjutnya.
Definisi MacKenzie dan
Eraut (1971)
Definisi dari Inggris ini ringkas,
namun terlihat begitu luas untuk mendeskripsikan Teknologi Pendidikan secara
akurat:
“Teknologi Pendidikan merupakan
studi sistematik mengenai cara bagaimana tujuan pendidikan dapat dicapai”.
Definisi sebelumnya meliputi
istilah, “mesin”, instrumen” atau “media”, sedangkan dalam definisi MacKenzie
dan Eraut ini tidak menyebutkan perangkat lunak maupun perangkat
keras, tetapi lebih berorientasi pada proses.
Definisi AECT 1972
Pada tahun 1972, AECT berupaya
merevisi definisi yang sudah ada (1963, 1970, 1971), dengan memberikan rumusan
sebagai berikut:
“Teknologi Pendidikan adalah suatu
bidang yang berkepentingan dengan memfasilitasi belajar pada manusia melalui
usaha sistematik dalam identifikasi, pengembangan, pengorganisasian dan
pemanfaatan berbagai macam sumber belajar serta dengan pengelolaan atas
keseluruhan proses tersebut”.
Definisi ini menunjukkan bahwa TP
merupakan proses sistematis dalam mengembangkan dan memanfaatkan pelbagai
sumber pembelajaran. Gagasan ini diambil dari definisi 1963, 1970, dan 1971,
dan nantinya banyak peran yang sama masuk dan diadopsi oleh definisi 1994
seperti pengembangan, pengorganisasian pengelolaan, dan pemanfaatan. Definisi
1972 ini didasari semangat untuk menetapkan TP sebagai satu bidang studi.
Ketentuan ini mengembangkan gagasan bahwa teknologi pendidikan merupakan suatu
profesi.
Kontribusi ketiga terhadap definisi
teknologi pendidikan versi tahun 1972 adalah pendekatan sistem. Hal ini
didasarkan atas pemahaman bahwa program pembelajaran adalah sebagai sistem yang
memiliki komponen-komponen pembelajaran yang saling keterkaitan satu sama
lainnya untuk mencapai tujuan pengajaran. Sesuai dengan konsep sistem yang
bersifat preskriptif, maka rancangan program adalah penetapan berbagai komponen
pembelajaran untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Standar
yang terkandung dalam tujuan pengajaran digunakan sebagai acuan untuk
menetapkan karakteristik peserta didik, bahan ajar, sumber belajar, fasilitas
yang perlu digunakan dan tes untuk mengukur keberhasilan pencapaian tujuan itu
sendiri. Hug dan King (1984) mengungkapkan bahwa tujuan penggunaan pendekatan
sistem ini adalah untuk merancang, mengimplementasikan, dan menilai keseluruhan
program pendidikan. Sedangkan penafsiran dari pendekatan sistem itu sendiri
didasarkan atas pendapat Ludwig von Bertalanffy (1975) dalam General System
Theory yang menekankan pada studi terhadap keseluruhan entitas dalam memahami
hubungan yang mendasar keberadaan dari keseluruhan komponen dalam sistem.
Melalui pendekatan sistem maka teknologi pendidikan tidak menetapkan langkah-langkah secara partial akan tetapi didasarkan atas keseluruhan komponen-komponen yang terlibat dalam pendidikan itu sendiri, baik dalam kaitannya dengan pembelajaran secara mikro maupun penyelenggaraan pendidikan secara makro.
Didasarkan atas masukan-masukan konsep tersebut maka AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi 1972 (bukan menggunakan istilah komunikasi audiovisual) adalah suatu bidang yang berkepentingan dengan memfasilitasi belajar pada manusia melalui usaha yang sistematik dalam identifikasi, pengembangan, pengorganisasi, dan pemanfaatan berbagai sumber belajar serta dengan pengelolaan semua proses tersebut (AECT, 1972:36).
Melalui pendekatan sistem maka teknologi pendidikan tidak menetapkan langkah-langkah secara partial akan tetapi didasarkan atas keseluruhan komponen-komponen yang terlibat dalam pendidikan itu sendiri, baik dalam kaitannya dengan pembelajaran secara mikro maupun penyelenggaraan pendidikan secara makro.
Didasarkan atas masukan-masukan konsep tersebut maka AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi 1972 (bukan menggunakan istilah komunikasi audiovisual) adalah suatu bidang yang berkepentingan dengan memfasilitasi belajar pada manusia melalui usaha yang sistematik dalam identifikasi, pengembangan, pengorganisasi, dan pemanfaatan berbagai sumber belajar serta dengan pengelolaan semua proses tersebut (AECT, 1972:36).
Definisi AECT 1977
“Teknologi pendidikan adalah proses
kompleks yang terintegrasi meliputi orang, prosedur, gagasan, sarana, dan
organisasi untuk menganalisis masalah, merancang, melaksanakan, menilai dan
mengelola pemecahan masalah dalam segala aspek belajar pada manusia”.
Definisi tahun 1977, AECT berusaha
mengidentifikasi Teknologi Pendidikan sebagai suatu teori, bidang dan profesi.
Definisi sebelumnya, kecuali pada tahun 1963, tidak menekankan teknologi
pendidikan sebagai suatu teori. Fasilitas yang perlu digunakan dan tes untuk
mengukur keberhasilan pencapaian tujuan itu sendiri. Hug dan King (1984)
mengungkapkan bahwa tujuan penggunaan pendekatan sistem ini adalah untuk
merancang, mengimplementasikan, dan menilai keseluruhan program pendidikan.
Sedangkan penafsiran dari pendekatan sistem itu sendiri didasarkan atas
pendapat Ludwig von Bertalanffy (1975) dalam General System Theory yang
menekankan pada studi terhadap keseluruhan entitas dalam memahami hubungan yang
mendasar keberadaan dari keseluruhan komponen dalamsistem.
Melalui pendekatan sistem maka
teknologi pendidikan tidak menetapkan langkah-langkah secara partial akan
tetapi didasarkan atas keseluruhan komponen-komponen yang terlibat dalam
pendidikan itu sendiri, baik dalam kaitannya dengan pembelajaran secara mikro
maupun penyelenggaraan pendidikan secara makro.
Didasarkan atas masukan-masukan konsep tersebut maka AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi 1972 (bukan menggunakan istilah komunikasi audiovisual) adalah suatu bidang yang berkepentingan dengan memfasilitasi belajar pada manusia melalui usaha yang sistematik dalam identifikasi, pengembangan, pengorganisasi, dan pemanfaatan berbagai sumber belajar serta dengan pengelolaan semua proses tersebut (AECT, 1972:36).
Didasarkan atas masukan-masukan konsep tersebut maka AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi 1972 (bukan menggunakan istilah komunikasi audiovisual) adalah suatu bidang yang berkepentingan dengan memfasilitasi belajar pada manusia melalui usaha yang sistematik dalam identifikasi, pengembangan, pengorganisasi, dan pemanfaatan berbagai sumber belajar serta dengan pengelolaan semua proses tersebut (AECT, 1972:36).
AECT kemudian merevisi definisi 1977
dengan rumusan berikut:
“Teknologi Pembelajaran adalah teori
dan praktek dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, serta
evaluasi tentang proses dan sumber untuk belajar.”
Meski dirumuskan dalam kalimat yang
lebih sederhana, definisi ini sesungguhnya mengandung makna yang dalam.
Definisi ini berupaya semakin memperkokoh teknologi pembelajaran sebagai suatu
bidang dan profesi, yang tentunya perlu didukung oleh landasan teori dan
praktek yang kokoh. Definisi ini juga berusaha menyempurnakan wilayah atau
kawasan bidang kegiatan dari teknologi pembelajaran. Di samping itu, definisi
ini berusaha menekankan pentingnya proses dan produk.
Definisi AECT (2004)
Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi terutama dalam bidang pendidikan, psikologi dan
komunikasi-informasi, Teknologi Pendidikan sebagai bidang ilmu juga semakin
berkembang. Demikian pula dengan definisinya juga mengalami perbaikan. Hal itu
juga tidak dapat dilepaskan dari evaluasi dan kritik terhadap definisi 1994.
Kritik utama yang ditujukan pada
definisi 1994 adalah bahwa Teknologi Pendidikan tampak terlalu berpendakatan
sistem dalam mengembangkan pembelajaran dan itu terlalu membatasi mainstrem
guru, administrator sekolah, peneliti dan juga para sarjana Teknologi Pendidikan
. Karenanya, definisi 1994 direvisi dengan definisi 2004 sebagaimana dirumuskan
berikut ini:
“Studi dan praktik yang berlandaskan
etika dalam menfasilitasi belajar dan meningkatkan kinerja melalui penciptaan,
penggunaan, dan pengelolaan pelbagai proses dan sumber teknologi yang tepat”
Pada definisi yang terbaru ini,
gagasan tentang etika mulai dimasukkan. Sebagaimana kritik terhadap definisi
1994, mainstrem ilmuan, teknolog, dan praktisi TP begitu dibatasi dalam
pendekatan sistem yang memang demikianlah salah satu karakteristik teknologi,
sehingga menyebabkan Teknologi Pendidikan demikian tidak luwes dan kehilangan
sisi kemanusiaan dalam pelbagai domainnya. Karenanya, diharapkan landasan etika
yang menjadi sumbangsih utama definisi terbaru ini bisa menanggulangi, meminjam
istilah Prof. Dimayati, “keterbudakan teknologi” dalam pembelajaran
Konsep yang berkembang pada masa permulaan terus
dikaji ulang dan disesuaikan dengan perkembangan pemanfaatan audiovisual dalam
pendidikan. Hasil kajian tahun 1965 melahirkan adanya beberapa pilihan, yaitu:
1). Dimungkinkan untuk
menggunakan kembali label audiovisual;
2). Merubah nama audiovisual
menjadi educational communication;
3). Merubah nama audiovisual
menjadi learning resources; dan
4). Merubah nama audiovisual
menjadi instructional technology or educational technology.
Sejalan dengan perubahan Department of Audiovisual
Instruction (DAVI) menjadi Association for Educational Communication and
Technology (AECT), maka secara serempak bidang kajian audiovisual berubah
menjadi Instructional technology atau educational technology. Bahkan mencakup
kajian educational communication. Silber (1972), mengungkapkan bahwa perubahan
ini memiliki implikasi terhadap cakupan pekerjaan educational technology yang
akan menghasilkan keanekaragaman program dan rancangan pembelajaran yang dapat
dimanfaatkan peserta didik untuk memenuhi kebutuhan belajarnya.
Terdapat tiga konsep utama yang memberikan kontribusi
terhadap perumusan definisi versi tahun1972 sehingga teknologi pendidikan
dijadikan sebagai bidang kajian, yaitu:
1). Keluasan Pemaknaan Learning
Resources;
2). Kontribusi Program Individual
Or Personal Instruction, Dan
3). Pemanfaatan System Approach.
Ketiga Konsep Ini Digabungkan Ke Dalam Suatu Pendekatan Untuk Memfasilitasi
Belajar, Menciptakan Keunikan, Dan Memiliki Alasan Untuk Kepentingan
Pengembangan Dalam Bidang Teknologi Pendidikan.
Learning resources sebagai konsep yang pertama yang
mendukung perumusan definisi 1972, dimaknai sebagai lingkungan belajar yang
dapat memberikan, memperkuat, dan menambah informasi yang disampaikan pengajar.
Ely (1972) mengklasifikasi learning resources ini ke dalam empat katagori,
yaitu: bahan belajar, peralatan dan fasilitas, orang, dan lingkungan. Klasifikasi
lain membaginya ke dalam dua kelompok, yaitu: human resources, dan non-human
resources. Secara teknis, pengadaan learning resources ini dibagi ke dalam dua
pola, yaitu by design, dan by utilization. Sumber belajar jenis by utilization
kadangkala disebut dengan “real world resources”, karena tidak khusus dirancang
untuk kepentingan suatu pembelajaran tetapi memanfaatkan sumber belajar yang
tersedia dalam dunia nyata untuk membantu proses pembelajaran. Sedangkan maksud
sumber belajar jenis by design adalah berbagai sumber belajar yang dirancang
dan diproduksi pengadaannya untuk kepentingan penyelenggaraan pembelajaran.
Melalui sumber belajar macam ini diharapkan dapat mengurangi kedudukan guru
sebagai “transmitter of information” penyampai informasi, akan tetapi menjadi
pengajar yang dapat memberi kemudahan kepada peserta didik untuk mencari dan
memperoleh informasi yang luas dan banyak sesuai dengan topik yang sedang
dipelajarinya.
Faktor kedua yang banyak memberikan kontribusi
terhadap definisi 1972 adalah berkembangnya konsep dan penggunaan individual or
personal instruction dalam penyelenggaraan pembelajaran. Hal ini diakibatkan
oleh tumbuhnya berbagai kebutuhan belajar yang tidak dapat dilayani dalam
pembelajaran di kelas, belum terakomodasi dalam kurikulum yang diselenggarakan
di sekolah, dan atau adanya keinginan untuk meningkatkan pemahaman mengenai
bahan belajar yang dipelajari di sekolah. Maksud dari individual or personal
instruction adalah sejumlah bahan ajar yang disampaikan melalui teknik yang memungkinkan
untuk dapat belajar secara perorangan.
Empat model program individualized instruction yang
sangat populer yang menjadi kajian bidang teknologi pendidikan, adalah: Mastery
Learning yang dikembangkan Bloom (1968); Individually Prescribed Instruction
(IPI) yang dikembangkan di University of Pittsburg tahun 1964; Personalized
System of Instruction (PSI) yang dikembangkan Keller Plan (1968); dan
Individually Guided Education (IGE) yang dikembangkan oleh Wisconsin Research
and Development tahun 1976.
Kajian Mastery Learning banyak mempengaruhi konsep
individualized instruction pada tahun 1960 an dan 1970 an. Hasil kajiannya
menunjukkan bahwa melalui mastery learning dapat diprediksi bahwa 95 % peserta
didik dapat mencapai tingkat keberhasilan belajar jika mereka disediakan waktu
belajar yang tepat. Melalui pendekatan individual ini peserta dapat belajar
secara cepat dan independen, bahkan pendekatan ini menekankan pada penyelesaian
belajar untuk bagian tertentu secara utuh sebelum melanjutkan kepada bagian
lainnya. Bloom (1968) mengidentifikasi adanya lima variabel yang sangat penting
dalam program mastery learning, yaitu: kualitas pembelajaran, kecakapan untuk
memahami pelajaran, ketekunan, waktu, dan kecerdasan.
Menurut Bloom (1968) didasarkan atas hasil kajiiannya
menunjukkan bahwa peserta didik yang memiliki kecerdasan yang tinggi dapat
mengerjakan secara baik setiap tugas yang diberikannya, bahkan ia dapat
terlibat belajar walaupun untuk bahan ajar yang sangat komplek, sedangkan
peserta didik yang memiliki kecerdasan yang rendah hanya dapat mempelajari
bahan ajar yang sederhana sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan John Carroll
(1963) menjelaskan bahwa jika kondisi peserta didik memiliki kecerdasan yang
berdistribusi normal dan mereka memperoleh kualitas pembelajaran dan jumlah
waktu belajar yang sama maka pengukuran hasil belajar akan menunjukan
distribusi normal pula. Menurutnya, bahwa kecerdasaan dan jumlah waktu belajar
merupakan persyaratan bagi peserta didik untuk dapat memperoleh hasil belajar
secara tuntas.
Disamping mastery learning yang memiliki kontribusi
terhadap perkembangan konsep teknologi pendidikan dalam kaitannya dengan
individual instructin adalah Fred Keller (1968) yang mengembangkan the
Personalized System of Instruction (PSI) sebagai hasil kajiannya di perguruan
tinggi. Konsep ini merupakan gabungan antara mastery learning dengan program
pembelajaran yang konvensional, dan ditambah dengan motivasi. Pengajaran tatap
muka dirancang sebagai suplemen untuk memperkaya penguasaan bahan belajar
dibanding sebagai sumber informasi yang pokok untuk ketuntasan pemahaman bahan
ajar. Keller menggunakan pengawas atau pembimbing yang menguasai bahan ajar,
dan ditugaskan untuk mencatat hasil tes dan memberikan tutorial kepada peserta
didik yang memerlukannya. Melalui pengawas ini diharapkan dapat meningkatkan
aspek sosial pada diri peserta didik dalam proses pendidikan.
Kemudian di Universitas Pittsburgh (1964) dikembangkan
pula Individually Prescribed Instruction (IPI) untuk kepentingan pengajaran di
sekolah dasar. IPI ini hampir sama dengan PSI yang menggunakan prinsip
penggabungan teori belajar behavioris dengan mastery learning. Sebelum peserta
didik mempelajari bahan belajar mereka diberikan tes awal untuk menetapkan
kemampuan awal peserta didik dan tingkatan bahan belajar yang akan
dipelajarinya. Tes awal ini yang membedakan antara konsep IPI dengan model yang
dikembangkan Keller dan mastery learning. Dan menurut hasil kajiannya tes awal
ini lebih efektif dalam menetapkan awal peserta didik mempelajari bahan ajar
dan penguasaan keseluruhan mata pelajaran.
Kajian lain dilakukan oleh Wisconsin Research and Developmen Center (1976) yang mengembangkan Individually Guided Education (IGE) pada sekitar 3000 sekolah dengan adanya keanekaragaman treatment. Model ini memiliki pola adanya tes awal, tujuan pengajaran khusus, dan rancangan program pengajaran. Model ini juga menggunakan adanya pelatihan guru, pengujian model pengajaran yang digunakan, adanya team teaching, tidak adanya tingkatan sekolah, dan tutor sebaya serta lintas umur. Dengan adanya pengembangan staf untuk menguasai model yang digunakan maka memudahkan dalam mencapai keberhasilan model ini dalam penyelenggaraan pembelajaran.
Kajian lain dilakukan oleh Wisconsin Research and Developmen Center (1976) yang mengembangkan Individually Guided Education (IGE) pada sekitar 3000 sekolah dengan adanya keanekaragaman treatment. Model ini memiliki pola adanya tes awal, tujuan pengajaran khusus, dan rancangan program pengajaran. Model ini juga menggunakan adanya pelatihan guru, pengujian model pengajaran yang digunakan, adanya team teaching, tidak adanya tingkatan sekolah, dan tutor sebaya serta lintas umur. Dengan adanya pengembangan staf untuk menguasai model yang digunakan maka memudahkan dalam mencapai keberhasilan model ini dalam penyelenggaraan pembelajaran.
Kontribusi ketiga terhadap definisi teknologi
pendidikan versi tahun 1972 adalah pendekatan sistem. Hal ini didasarkan atas
pemahaman bahwa program pembelajaran adalah sebagai sistem yang memiliki
komponen-komponen pembelajaran yang saling keterkaitan satu sama lainnya untuk
mencapai tujuan pengajaran. Sesuai dengan konsep sistem yang bersifat
preskriptif, maka rancangan program adalah penetapan berbagai komponen
pembelajaran untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Standar
yang terkandung dalam tujuan pengajaran digunakan sebagai acuan untuk menetapkan
karakteristik peserta didik, bahan ajar, sumber belajar, fasilitas yang perlu
digunakan dan tes untuk mengukur keberhasilan pencapaian tujuan itu sendiri.
Hug dan King (1984) mengungkapkan bahwa tujuan penggunaan pendekatan sistem ini
adalah untuk merancang, mengimplementasikan, dan menilai keseluruhan program
pendidikan. Sedangkan penafsiran dari pendekatan sistem itu sendiri didasarkan
atas pendapat Ludwig von Bertalanffy (1975) dalam General System Theory yang
menekankan pada studi terhadap keseluruhan entitas dalam memahami hubungan yang
mendasar keberadaan dari keseluruhan komponen dalam sistem.
Melalui pendekatan sistem maka teknologi pendidikan
tidak menetapkan langkah-langkah secara partial akan tetapi didasarkan atas
keseluruhan komponen-komponen yang terlibat dalam pendidikan itu sendiri, baik
dalam kaitannya dengan pembelajaran secara mikro maupun penyelenggaraan
pendidikan secara makro.
Didasarkan atas masukan-masukan konsep tersebut maka AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi 1972 (bukan menggunakan istilah komunikasi audiovisual) adalah suatu bidang yang berkepentingan dengan memfasilitasi belajar pada manusia melalui usaha yang sistematik dalam identifikasi, pengembangan, pengorganisasi, dan pemanfaatan berbagai sumber belajar serta dengan pengelolaan semua proses tersebut (AECT, 1972:36).
Didasarkan atas masukan-masukan konsep tersebut maka AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi 1972 (bukan menggunakan istilah komunikasi audiovisual) adalah suatu bidang yang berkepentingan dengan memfasilitasi belajar pada manusia melalui usaha yang sistematik dalam identifikasi, pengembangan, pengorganisasi, dan pemanfaatan berbagai sumber belajar serta dengan pengelolaan semua proses tersebut (AECT, 1972:36).
Perubahan dari AV communications ke teknologi
pendidikan yang berlangsung pada tahun 1972 melahirkan definisi teknologi
pendidikan versi 1972 yang mengarah pada suatu bidang kajian dalam pendidikan.
Konsep yang terkandung dalam memaknai teknologi pendidikan ini terus dikritisi
para ahli pendidikan dan dihasilkan pemahaman bahwa teknologi pendidikan itu
merupakan suatu proses bukan hanya untuk bidang kajian saja, bahkan termasuk
teori dan profesi teknologi pendidikan. Secara konsep perkembangan kajian ini
melahirkan definisi versi 1977 yang didukung oleh tiga konsep utama yaitu:
learning resources, managemen, dan pengembangan.
Association of Educational and Communication
Technology (AECT) pada tahun 1977 menerbitkan buku The Definition of
Educational Technology yang mengungkapkan: 1) hasil analisis yang sistematis
dan menyeluruh tentang ide dan konsep bidang teknologi pendidikan; dan 2)
keterkaitan antara ide dan konsep yang satu dan lainnya. Buku tersebut
mengungkapkan sejarah dari bidang kajian, alasan perumusan definisi, kerangka
teoritis yang melandasi definisi, diskusi mengenai aplikasi praktis, kode etik
profesi organisasi, dan glossary peristilahan yang memiliki keterkaitan dengan definisi.
Termasuk bahasan yang menjawab kontroversi antara istilah educational
technology dan instructional technology, yang menunjukkan bahwa instructional
technology sebagai bagian ”subset” dari educational technology yang merupakan
realitas pengajaran dalam pendidikan.
Kontribusi terhadap perumusan kembali definisi
teknologi pendidikan versi 1972 menjadi versi 1977 sejalan dengan perubahan
klasifikasi learning resources, yang pada awalnya hanya meliputi empat kategori
yaitu: bahan, peralatan, orang, dan lingkungan, menjadi enam (6) kategori atau
kelompok, yaitu: pesan, orang, bahan, peralatan, teknik, dan lingkungan.
Terdapat tiga alasan dari konsep yang terkandung dalam
learning resources versi 1977, yaitu: 1) keluasan sumber belajar; 2) media; dan
3) pengadaan sumber melalui rancangan dan pemanfaatan. Keluasan sumber belajar
menjadi dasar kemungkinan adanya variasi penggunaan model teknologi pendidikan
dalam memecahkan masalah belajar. Melalui sumber belajar yang bervariasi maka
model pembelajaran dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan belajar peserta
didik, sistem penyampaian, dan pemberian pengalaman belajar kepada peserta
didik. Pemanfaatan media ditujukan untuk mentransformasikan informasi, sehingga
dikembangkan model pembelajaran dengan memanfaatkan media tersebut, seperti
contoh media audio visual dimanfaatkan untuk model pembelajaran melalui audio
visual. Sedangkan pengadaan sumber belajar masih melanjutkan dari konsep versi
1972, yaitu adanya pengadaan yang dirancang (by design), dan yang dimanfaatkan
(by utilization). Pengadaan sumber belajar yang dirancang dan yang dimanfaatkan
keduanya ditetapkan melalui analisis sistem untuk menetapkan komponen
pembelajaran yang paling cocok untuk kepentingan belajar peserta didik dalam
mencapai tujuan secara efisien dan efektif. Perbedaannya terletak pada proses
pengadaan yaitu adanya rancangan dan produk yang sesuai dengan keperluan model
pembelajaran, dan di lain pihak adanya sumber belajar yang dimanfaatkan berupa
dunia nyata sebagai lingkungan belajar untuk kepentingan pembelajaran. Dalam
makna bahwa learning resources yang sudah ada di sekeliling peserta didik
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan belajar.
Managemen menjadi pendukungan kedua dalam membangun
definisi teknologi pendidikan versi 1977, hal ini merupakan pengaruh dari
perkembangan konsep managemen terhadap gerakan efesiensi pendidikan. Pada
awalnya managemen mempengaruhi terhadap administrasi sekolah, dan kemudian
mempengaruhi kepada pembelajaran di kelas. Managemen ini dipandang sebagai
proses, yang sejak definisi 1963 memiliki keterkaitan dengan dengan disain dan
pemanfaatan pesan pendidikan. Pada tahun 1972, konsep managemen terlihat lebih
kental dalam bidang kajian teknologi pendidikan. Diskusi yang berkembang saat
itu sepakat bahwa managemen memiliki keterkaitan dengan teknologi secara umum,
dan dalam kaitannya dengan teknologi pendidikan terlihat bahwa proses belajar
dan mengajar memerlukan adanya langkah-langkah proses pembelajaran, pengelolaan
sistem pembelajaran, dan pengawasan. Untuk itu, disarankan bahwa guru perlu
memiliki pemahaman tentang managemen, karena mereka sebagai manager di dalam
kelas yang memerlukan kemampuan pengelolaan kelas secara baik.
Heinich (1970) memiliki konsep bahwa managemen telah
dikembangkan bersamaan dengan prinsip-prinsip sistem di dalam merancang
pembelajaran, bahkan konsepnya sejalan dengan pendapat Hoban (1965) walaupun
dalam peristilah yang berbeda. Ia menyebutnya dengan istilah ”management of
instruction”, sedangkan Hoban menggunakan istilah ”management of learning”.
Menurutnya bahwa management of instruction tidak hanya mengembangkan dan
menggunakan bahan belajar dan teknik pembelajaran saja akan tetapi termasuk
juga keperluan-keperluan logistik, pendekatan sosiologis, dan faktor ekonomi.
Bahkan adanya perubahan paradigma pemanfaatan teknologi pendidikan dalam sistem
pendidikan yang pada awalnya kedudukan Audiovisual dimanfaatkan untuk
kepentingan pengajaran di kelas pada saat guru mengajar, berubah dengan
menempatkan teknologi pendidikan berada dan memberi kontribusi di dalam proses
pengembangan kurikulum. Dasar asumsinya bahwa perancangan kurikulum dan tahap
pengembangannya menjadi sumber penetapan strategi pembelajaran yang mencakup
taktik dalam penyelenggaraan pembelajaran. Di samping itu kedudukan guru tidak
hanya penentu model pengajaran yang akan digunakannya, akan tetapi ia pun
sebagai bagian dari perekayasa dalam penyelenggaraan pembelajaran. Perubahan
paradigma tersebut sebagaimana terlihat dalam bagan berikut:
Masukan konsep dari ketiga faktor: learning resources,
managemen, dan pengembangan tersebut menghasilkan rumusan definisi teknologi
pendidikan versi 1977. Didasarkan atas masukan tersebut AECT (1977) merumuskan
definisi teknologi pendidikan sebagai proses yang komplek dan terpadu yang
melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan, dan oraganisasi untuk menganalisis
masalah, mencari jalan pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola
pemecahan yang menyangkut semua aspek belajar manusia.
Didasarkan atas definisi tersebut, maka kawasan teknologi pendidikan dapat digambarkan melalui bagan berikut ini:
Didasarkan atas definisi tersebut, maka kawasan teknologi pendidikan dapat digambarkan melalui bagan berikut ini:
Teknologi pendidikan ditujukan untuk memfasilitasi dan
memecahkan masalah belajar peserta didik. Usaha-usaha tersebut terdiri dari
pengelolaan, pengembangan sistem pembelajaran dengan memanfaatkan sumber
belajar.
Pengakuan bahwa teknologi pembelajaran menjadi bagian
dari teknologi pendidikan sebagaimana diungkapkan dalam definisi 1977 menjadi
kajian yang serius di lingkungan ahli-ahli pendidikan, sehingga melahirkan dua
kelompok yang memiliki argumentasi masing-masing. Kelompok yang menggunakan
istilah teknologi pembelajaran mendasarkan atas dua alasan, yaitu: pertama,
kata pembelajaran lebih sesuai dengan fungsi teknologi; kedua, kata pendidikan
lebih sesuai untuk hal-hal yang berhubungan dengan sekolah atau lingkungan
pendidikan. Kelompok ini beranggapan bahwa kata pendidikan digunakan untuk
setting sekolah, sedangkan pembelajaran memiliki cakupan yang luas, termasuk
situasi pelatihan. Para ahli yang lebih setuju dengan istilah teknologi
pendidikan tetap bersikukuh bahwa kata pembelajaran (instruction) diakui
sebagai bagian dari pendidikan, sehingga sebaiknya digunakan peristilahan yang
lebih luas (AECT, 1977). Kedua kelompok kelihatannya bersikukuh dengan
pendapatnya, namun ada juga kelompok yang menggunakan kedua istilah tersebut
digunakan secara bergantian, hal ini didasarkan atas alasan-alasan: (a) dewasa
ini istilah teknologi pembelajaran lazim digunakan di Amerika Serikat, sedangan
teknologi pendidikan digunakan di Inggris dan Kanada; (b) mencakup banyaknya
pemanfaatan teknologi dalam pendidikan dan pengajaran; (c) perlu menggambarkan
fungsi teknologi dalam pendidikan secara lebih tepat; dan (d) dalam satu
batasan dapat merujuk baik pada pendidikan maupun pembelajaran. Didasarkan atas
penggunaan kedua istilah tersebut, maka istilah “teknologi pembelajaran”
digunakan dalam definisi 1994 (Seels and Richey, 1994:5).
Barbara B. Seels dari University of Pittsburg dan Rita
C Richey dari Wayna State University keduanya dari komisi termonologi AECT
mengembangkan definisi teknologi pembelajaran beserta kawasannya. Menurutnya
bahwa teknologi pembelajaran adalah teori dan praktek dalam disain, pengembangan,
pemanfaatan, pengelolaan dan penilaian proses dan sumber untuk belajar.
Definisi tersebut memiliki komponen-komponen: 1) teori dan praktek; 2) desain,
pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan penilaian; 3) proses dan sumber; dan
4) untuk kepentingan belajar. Komponen teori dan praktek menunjukkan bahwa
teknologi pembelajaran memiliki landasan pengetahuan yang didasarkan atas hasil
kajian melalui riset dan pengalaman. Teori ditunjukkan oleh adanya konsep,
konstruk, prinsip, dan proposisi yang memberi sumbangan terhadap keluasan
pengetahuan. Sedangkan praktek merupakan penerapan pengetahuan tersebut dalam
setting pembelajaran tertentu, terutama dalam memecahkan masalah belajar. Dalam
pembelajaran kita memahami bahwa teori-teori yang digunakan pada hakekatnya
menurunkan dari teori-teori yang dikembangkan oleh ilmu murni, seperti
psikologi yang diturunkan ke dalam teori belajar, adanya komunikasi
pembelajaran, dan pengelolaan pembelajaran serta ilmu-ilmu lainnya. Sedangkan
dalam praktek pembelajaran ditunjukkan oleh penurunan konsep-konsep pengetahuan
sesuai dengan kondisi serta karakteristiknya, sebagai contoh kondisi dan
karakteristik peserta didik, bahan belajar, sarana dan fasilitas.
Komponen disain, pengembangan, pemanfaatan,
pengelolaan, dan penilaian merupakan komponen sistem pengelolaan dalam
pembelajaran. Setiap komponen memiliki teori dan praktek yang khusus dan
memiliki keterkaitan secara sistimatis dengan bagian-bagian lainnya, baik
sebagai masukan maupun umpan balik dan penilaian. Tahapan-tahapan tersebut
merupakan tahapan pengelolaan pembelajaran yang di dalamnya memiliki aktifitas
kegiatan masing-masing.
Komponen belajar dimaksudkan bahwa program
pembelajaran yang dirancang pada hakekatnya ditujukan untuk terjadinya belajar
pada diri peserta didik, sehingga masalah belajar yang dimilikinya dapat
terpecahkan. Oleh karena itu, kejelasan kebutuhan belajar yang akan dipecahkan
oleh suatu program pembelajaran perlu diidentifikasi secara definitif terlebih
dahulu, yang pada akhirnya hal tersebut menjadi salah satu kriteria dari
keberhasilan program pembelajaran yang dikembangkan.
Definisi teknologi pembelajaran di atas kemudian dipetakan ke dalam kawasan teknologi pembelajaran sebagai digambarkan Seels dan Richey berikut ini:
Definisi teknologi pembelajaran di atas kemudian dipetakan ke dalam kawasan teknologi pembelajaran sebagai digambarkan Seels dan Richey berikut ini:
Konsep definisi versi 2004 adalah sebagai berikut:
Teknologi pendidikan adalah studi dan praktek yang etis dalam memberi kemudahan
belajar dan perbaikan kinerja melalui kreasi, penggunaan, dan pengelolaan
proses dan sumber teknologi yang tepat. Kalau dianalisis, di dalam definisi
tersebut terkandung beberapa elemen berikut:
1) Studi;
2) Praktek Yang Etis;
3) Kemudahan Belajar;
4) Perbaikan Kinerja;
5) Perbaikan Kinerja;
6) Kreasi, Penggunaan, Dan
Pengelolaan;
7) Teknologi Yang Tepat; Dan
Proses Dan Sumber.
Istilah studi yang digunakan dalam definisi tersebut
merujuk pada pemaknaan studi sebagai usaha untuk mengumpulkan informasi dan
menganalisisnya melebihi pelaksanaan riset yang tradisional, mencakup
kajian-kajian kualitatif dan kuantitatif untuk mendalami teori, kajian
filsafat, pengkajian historik, pengembangan projek, kesalahan analisis, analisa
sistem, dan penilaian. Studi dalam teknologi pendidikan telah berkembang
terutama dalam kaitannya dengan pengembangan model pembelajaran, efektifitas
kedudukan media dan teknologi dalam pelaksanaan pembelajaran, dam penerapan
teknologi dalam perbaikan belajar. Kajian mutakhir banyak difokuskan pada
penempatan posisi teori belajar, managemen informasi, dan perkembangan
pemanfaatan teknologi untuk memecahkan masalah belajar yang dihadapi peserta
didik. Istilah studi dalam definisi tersebut pada hakekatnya ditujukan untuk
memberi kemudahan belajar dan perbaikan kinerja belajar peserta didik melalui
kegiatan belajar yang memanfaatkan sumber belajar yang tepat.
Definisi tersebut mengarahkan bahwa teknologi
pendidikan memiliki praktek yang etis dalam memberikan kemudahan belajar dan
perbaikan kinerja belajar peserta didik. Maksud dari praktek yang etis tersebut
adalah adanya standar atau norma dalam mengkreasi atau merancang, menggunakan,
dan mengelola proses pembelajaran dan pemanfaatan sumber belajar untuk
kepentingan belajarnya siswa
Dari definisi 2004 ini tergambar bahwa adanya
pergeseran gerakan teknologi pendidikan dari definisi sebelumnya yaitu bahwa
teknologi pendidikan atau teknologi pembelajaran sebagai teori dan praktek,
bahkan bidang kajian, menjadi studi dan praktek yang etis. Hal ini mengarahkan
perlu adanya kajian-kajian yang mendalam dan lebih tepat sehingga diperoleh
konsep-konsep dan praktek belajar sesuai dengan kepentingan belajar setiap
individu. Namun demikian, perubahan gerakan tersebut tidak menyurutkan tujuan
dari teknologi pendidikan yaitu memfasilitasi belajar dan perbaikan penampilan
belajar peserta didik dengan menggunakan berbagai macam sumber belajar.
Kajian rancang bangun konsep teknologi pendidikan ini
ditujukan untuk mengkaji ulang anatomi dan berbagai faktor yang mempengaruhi
terhadap perubahan konsep yang dituangkan dalam rumusan definisi yang ada,
sehingga adanya kejelasan alur perkembangan pemaknaan teknologi pendidikan.
Walaupun kajian ini tidak lengkap dan utuh akan tetapi diharapkan dapat
memberikan gambaran awal secara umum dalam usaha mengembangkan konsep lebih
lanjut dan memanfaatkannya untuk kepentingan praktek pembelajaran.
Harapannya bahwa kajian ini menjadi pemicu untuk mengkaji lebih lanjut baik dari segi konsep maupun praktek sehingga benar-benar bermanfaat untuk memfasilitasi pemecahan masalah belajar yang dialami setiap individu. Diyakini bahwa perkembangan ilmu dan teknologi serta tuntutan masyarakat mendorong untuk dikembangkannya berbagai model pendidikan dan pembelajaran yang lebih sesuai dengan harapan. Jika kita amati isi kandungan definisi-definisi teknologi pembelajaran di atas, tampaknya dari waktu ke waktu teknologi pembelajaran mengalami proses “metamorfosa” menuju penyempurnaan. Ada beberapa catatan terakhir yang dapat digariskan di bagian akhir ini: 1) Pada definisi awal, fokus Teknologi Pendidikan hanya sebagai media pembelajaran; 2) Pada definisi 1960an dan 1970an, Teknologi Pendidikan dipandang sebagai suatu proses; 3) Pada definisi 1994, Teknologi Pendidikan telah dipandang sebagai proses dan juga produk; 4) Pada definisi terbaru (2004) landasan etika mulai dijadikan pedoman dalam kajian dan praktik Teknologi Pendidikan
Harapannya bahwa kajian ini menjadi pemicu untuk mengkaji lebih lanjut baik dari segi konsep maupun praktek sehingga benar-benar bermanfaat untuk memfasilitasi pemecahan masalah belajar yang dialami setiap individu. Diyakini bahwa perkembangan ilmu dan teknologi serta tuntutan masyarakat mendorong untuk dikembangkannya berbagai model pendidikan dan pembelajaran yang lebih sesuai dengan harapan. Jika kita amati isi kandungan definisi-definisi teknologi pembelajaran di atas, tampaknya dari waktu ke waktu teknologi pembelajaran mengalami proses “metamorfosa” menuju penyempurnaan. Ada beberapa catatan terakhir yang dapat digariskan di bagian akhir ini: 1) Pada definisi awal, fokus Teknologi Pendidikan hanya sebagai media pembelajaran; 2) Pada definisi 1960an dan 1970an, Teknologi Pendidikan dipandang sebagai suatu proses; 3) Pada definisi 1994, Teknologi Pendidikan telah dipandang sebagai proses dan juga produk; 4) Pada definisi terbaru (2004) landasan etika mulai dijadikan pedoman dalam kajian dan praktik Teknologi Pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar